Sunday, May 16, 2010

Membaca Catatan Hati Seorang Istri

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat membaca buku karya Asma Nadia yang menjadi best seller di tahun 2007. Judulnya adalah Catatan Hati Seorang Istri. Entah mengapa buku itu menjadi best seller, yang pasti dari 3 buku karangan mbak Asma yang berjejer di hadapan saya, buku itu yang saya pilih.


Lembar demi lembar kisah nyata dalam buku itu membuat saya tersadar akan sesuatu. Bahwa pengkhianatan, betapapun kecilnya, adalah menyakitkan. Dan maaf, yang saya saksikan selama ini, pengkhianatan itu lebih banyak dilakukan oleh pihak Bapak. Tentu ada alasan mengapa Bapak seperti itu. Entah dari pihak ibu yang tidak baik dalam mengurus rumah tangga atau dari pihak bapak sendiri yang tidak sanggup mengendalikan diri, atau dari pihak luar yang berusaha menggoyahkan ikatan diantara mereka. Apapun penyebabnya, ketika pengkhianatan itu berujung pada perpisahan maka sang pengkhianat lah yang akan menerima akibatnya. Ia akan dibenci oleh orang-orang yang selama ini mencintainya dan sedihnya lagi ia tidak berhak mencicipi masa depan anak yang telah ditinggalkannya. Apakah bapak mau menggadaikan masa tua bapak demi kenikmatan sesaat yang itu semua seharusnya bisa bapak dapatkan di rumah? Duhai para bapak, apakah engkau tidak bisa sedikit bersabar dengan kulit ibu yang memang semakin tua dan pelayanannya yang tidak lagi prima, padahal dulu kau susah payah meraih cintanya ? Dan Pak, apakah ibu tidak berhak mendapat teguran jika selama ini ia telah mengabaikanmu, berkurang perhatiannya padamu karena pekerjaan-pekerjaannya, mengapa kau diamkan saja dan mencari yang lain?


Perceraian meski dibolehkan tapi itu adalah perbuatan yang dibenci oleh Alloh. Ironis bukan jika sepasang insan yang saling mencintai harus saling berhadapan di meja hijau, membela diri sekuat tenaga dan menyalahkan satu sama lain. Dan tragedi ini dirasakan oleh anak, didengar dan disaksikan. Membuat guratan luka pada hatinya yang terus menganga sepanjang hidupnya dan semakin pedih pada saat-saat tertentu. Seperti halnya merpati yang kehilangan satu sayapnya. Tentu ia akan terbang dengan terseok, tak selincah kawan-kawannya yang ‘lengkap’ sayapnya. Lalu Pak, adilkah jika merpati yang lengkap sayapnya terbang bersama merpati yang kehilangan satu sayap? Bukankah berat untuk menerima kenyataan itu? Ah Pak, cinta, tetap saja tak kehilangan rasio.


Tak terasa saya sampai pada halaman terakhir. Langit sudah semakin gelap dan suara mesin kereta semakin jelas saja di malam hari. Helaan nafas yang panjang seolah menjadi tanda bahwa mata saya sudah lelah dan harus segera tidur. Entah mengapa buku itu menjadi best seller, mungkin buku itu telah menjadi salah satu pelipur lara jutaan hati kaum hawa atau karena dalam buku itu tersirat sebuah nasihat. Bahwa ketika engkau sakit hanya Allohlah tempatmu meminta kekuatan...Laa haula walaa quwwata illa billah.


-23 Agustus 2008-

No comments:

Post a Comment