Friday, September 11, 2009

Rindu Masa Itu

Beberapa hari lalu, saat di rumah, tak sengaja saya menemukan sebuah kertas dalam binder suami saya. sobekan kertas berukuran sekitar 15x8 cm, yang dipotong dengan apik di pinggir-pinggirnya. kertas itu tampak sedikit lusuh dengan coretan-coretan di baliknya. Memang hanya potongan kertas biasa, tapi tulisan yang terdapat pada kertas tersebut membuat saya termenung dan rindu akan suatu masa.. masa dimana kami sama-sama berjuang untuk meraih kecintaan Allah.

Ketika kita mengambil sebuah keputusan tentu akan ada resikonya. Bahkan tak jarang terjadi perubahan-perubahan yang signifikan saat keputusan itu diambil. Ada perubahan yang mengarah pada kebaikan, ada pula yang mengarah pada keburukan. Tentu kita tidak ingin perubahan yang kedua, yang justru mengurangi kualitas pribadi kita. Bahkan kalo bisa, saat keputusan itu diambil, kita menjadi pribadi yang jauh lebih berkualitas.

Mungkin teman-teman juga pernah merasakan sendiri perubahan itu, baik sebagai subjek maupun objek. Saat mengambil keputusan menikah misalnya. Tak sedikit mereka yang berkomentar bahwa setelah menikah mereka menjadi lebih 'hidup' atau justru menjadi 'tidak berdaya' dengan sebuah tanggung jawab baru sebagai istri atau suami. Tak sedikit pula mereka yang berkomentar bahwa si anu setelah menikah menjadi beda, si anu menjadi lebih dewasa, atau si anu menjadi kurang produktif dll.

Saya sendiri juga merasakan perubahan itu, dan perubahan itu terasa kentara setelah kertas yang berisi tulisan suami saya, saya temukan tak sengaja. Tulisan itu adalah syair yang pernah kami kumandangkan bersama sahabat-sahabat kami di kampus. Syair yang memompa semangat juang kami, mengalir bersama darah kami yang hangat, bertekad untuk membangun negeri, menyelamatkan akhirat kami, menjadi matahari untuk umat yang kegelapan.

Kami prajurit-prajurit Allah
Yang dakwah telah menjadi nafas
Yang wajah Allah menjadi kerinduan
Yang air mata negerinya
menjadi kegelisahan

Dengan kepala tegak
kami akan terus berderap
melangkah maju
menjadi ksatria terdepan
pengusung panji Dien ini!!

1000 mentari kampusku

Hingga seluruh manusia di bawah langit
Memuja-Nya

Kini setelah tidak lagi menjadi mahasiswa, tidak lagi bersinggungan dengan aktivitas-aktivitas kampus yang gegap gempita, semangat itu tak lagi menggema. Sungguh perubahan status, dari mahasiswa menjadi wisudawan, dari wisudawan menjadi karyawan bahkan tak jarang pengangguran adalah suatu perubahan alamiah, yang insya allah akan terus terjadi. Tapi apakah suatu fondasi yang telah tertancap kuat di selama di kampus harus pupus hanya karena perubahan status, perubahan lingkungan? Padahal aktivitasnya adalah sama sepanjang hayat, yakni menyeru kepada kebaikan (da'wah), hanya saja bentuknya yang berubah. Apalagi setelah menikah, yang kekuatannya bertambah menjadi 2, bahkan 5 hingga 10 dengan keberadaan mujahid-mujahid kecil, seharusnya semangat itu akan semakin menyala.

Semua tentu membutuhkan proses. Adaptasi membutuhkan sebuah effort, apalagi proses adaptasi setelah menikah adalah ikhtiar yang selamanya. Selalu ada kejutan-kejutan baru dalam kehidupan rumah tangga kita, dari pribadi pasangan hidup kita. Dengan perubahan status ini, Allah hendak menguji kualitas niat dan tekad kita, yang kita kumandangkan dengan terang-terangan atau kita tanamkan sembunyi-sembunyi dalam sanubari kita. Tekad itu adalah menjadi pribadi yang shalih hingga akhir hayat.

Karena itu, adik-adik yang kini masih menjalankan aktivitas da'wah di kampus, nikmatilah kelelahan itu. Nikmati ketika harus rapat di pagi buta, ketika harus survey untuk outbond, ketika harus menyebarkan pamflet di sela-sela kuliah, saat harus memasak dengan asap yang mengepul kejam saat pesantren, saat harus berargumen dalam debat kandidat pemimpin dan saat-saat yang lain. Karena masa itu akan sangat kalian rindukan di masa yang akan datang.

Perubahan status, peran, lingkungan semoga tidak menggoyahkan semangat dan niat kita. Karena perubahan itu pasti terjadi, dan akan berubah menjadi seperti apakah kita?