Sunday, May 30, 2021

Bala-bala Warisan Nenek

Saat diumumkan kalau Tema Tantangan Blogging Mama Gajah Ngeblog bulan Mei ini adalah Resep Masakan Andalan, kontan saja nyali ini ciut untuk menulis. Mau masak saja proses brainstormingnya lebih lama dibandingkan di dapurnya, apalagi harus menuliskannya di blog. Katanya makanan favorit itu adalah makanan yang dimasak orang lain, maka bisa jadi hal itu berlaku untuk saya..hehe. Tapi jika berbicara tentang resep masakan andalan, pikiran saya malah melambung pada suatu masa. Masa yang akan selalu dikenang. 

Jika ditanya apa makanan favoritmu, maka saya pasti bingung menjawabnya, karena makanan favorit saya banyak. Tapi kalau ditanya apa makanan favoritmu waktu kecil? Maka jawabannya sudah pasti bukan eskrim, atau coklat, atau permen, meski ya sebenernya kalau dikasih pasti tak akan menolak. Makanan favorit saya sejak kecil dan sepanjang masa adalah bala-bala. Bala-bala atau bakwan adalah makanan ‘wajib’ saya waktu kecil. Sehari tanpa makan bala-bala rasanya ada yang kurang. Bala-bala selalu ada di rumah kami saat pagi dan sore hari. Bala-bala juga adalah menu ta’jil yang selalu tersaji saat bulan puasa. Bala-bala sudah menjadi bagian penting dari tradisi keluarga kami. Kami punya ikatan emosi yang sangat kuat dengan bala-bala. 

Sejak lahir hingga kelas 6 SD, saya beserta ibu dan adik tinggal bersama nenek dan 15 anggota keluarga lainnya di sebuah rumah di Kota Bandung. Jumlah yang cukup banyak bukan? Rumah nenek berada di pinggir jalan yang ramai dilalui angkot. Nenek membuka usaha warung nasi yang memiliki cukup banyak pelanggan. Dalam menjalankan usahanya tersebut, nenek dibantu oleh anak-anak dan cucu-cucu perempuannya. Anak- anak perempuan bertugas belanja ke pasar dan memasak. Cucu-cucu perempuan remaja bertugas menghaluskan bumbu dan memotong-motong aneka protein hewani. Cucu-cucu perempuan yang masih kecil, saya dulu termasuk di dalamnya, bertugas memotong-motong sayuran dan aneka bawang. Meski terkadang pembagian tugas tersebut tidak baku, tapi yang pasti semua mendapat giliran menjaga warung dan melayani pembeli, baik yang makan di tempat, yang minta dibungkus atau yang hanya beli aneka komoditas rumah tangga. 

Dari sekian jenis makanan yang tersaji di Warung Nasi Ibu Apandi, sebutan untuk warung nenek saat itu, ada satu makanan yang menjadi primadona. Makanan itu adalah bala-bala. Meski ada gorengan tempe dan pisang, bala-bala yang paling banyak dicari orang. Dalam sehari nenek bisa membuat bala-bala hingga 3-4 siklus, apalagi kalau anak dan cucu ikutan ngemil bala-bala jatah jualan. 

Kebiasaan pelanggan berbeda-beda. Ada pelanggan yang request, “Hoyong bala-bala nu ditiupan” (Ingin bala-bala yang masih panas yang masih bisa ditiup), “Aya bala-bala nu garing?” (Ada bala-bala yang kering?). Ada pula pelanggan yang langsung masuk ke dapur dan mencari bala-bala yang baru diangkat dari wajan. Dapur nenek sudah tidak privasi lagi..hehe. Kami para cucu juga tidak kalah bawel, yang satu minta bala-bala kering, yang satu minta setengah matang, ada lagi yang minta bala-bala tanpa isi, ada juga yang minta bala-bala bopeng. Untuk yang terakhir itu adalah favorit saya dan adik. Bala-bala bopeng itu adalah bala-bala kering dengan tekstur yang tidak mulus, semakin bopeng kok semakin nikmat rasanya. 

Gambar 1. Bala-bala favoritku


Gorengan di Berbagai Negara

Indonesia memang terkenal dengan aneka gorengan. Rasanya yang renyah dan gurih memang cocok dijadikan camilan kapan saja. Tidak hanya enak, gorengan juga mudah sekali dibuat. Khusus untuk bala-bala ternyata ada sejarahnya tersendiri di nusantara. Bala-bala atau bakwan memiliki penyebutan berbeda-beda. Bagi orang Sunda, bakwan dikenal dengan sebutan bala-bala. Sementara di beberapa daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, bakwan dikenal sebagai pia-pia dan ote-ote. Di Banyuwangi disebut sebagai “hongkong” yang artinya bakwan sayur goreng. 

Gorengan juga terkenal di berbagai negara lain di dunia. Di Jepang dikenal sebagai kakiage, di Korea disebut pajeon, di India disebut pakora, sementara di Timur Tengah dikenal dengan nama falafel. Ada yang menyebut bakwan dari China. Kata bakwan berasal dari salah satu sub bahasa Tiongkok yaitu ‘bak’ yang berarti daging dan ‘wan’ yang bermakna bola. Dalam buku A History of Food (2008) disebutkan bahwa gorengan sudah ada sejak 1200 Sebelum Masehi. Mesir adalah tempat lahirnya teknik menggoreng dalam minyak banyak (deep frying) yang kemudian menyebar ke seluruh dunia. 

Kembali pada bala-bala, kenapa di Sunda bakwan disebut dengan nama bala-bala? Bala berasal dari kata ‘Ngabala’ atau menyampah. Jadi bala-bala dibuat dengan cara mencampur terigu dengan berbagai sisa sayuran, seperti wortel, tauge, labu dan kol. Bentuknya juga tidak karuan. Berbeda dengan gorengan tempe, tahu, dan pisang yang bentuknya lebih rapi. Tapi justru itu yang menjadi keunikan bala-bala. 

Gambar 2. Jenis gorengan di dunia


Bala-bala Khas Nenek 

Berbeda dengan bala-bala pada umumnya, nenek membuat bala-bala dengan bentuk yang lebih rapi, atau dikenal dengan bala-bala cetak. Nenek berinisiatif menambahkan pegangan kayu panjang pada sutil dan diikat dengan kawat sehingga bisa digunakan untuk mencetak bala-bala dalam wajan. Entah apakah dulu tidak ada yang menjual cetakan atau nenek memang suka DIY (Do It Yourself) sambil menghemat rupiah. 

Waktu saya kuliah, saya kembali tinggal di rumah nenek karena ibu saat itu dipindah tugas ke Jakarta dan saya tidak bisa ikut. Cucu-cucu yang dulu tinggal di rumah nenek sebagian besar sudah menikah dan pindah keluar kota. Saya, adik dan dua anak perempuan nenek tetap setia membuat bala-bala dan menjaga warung nenek, meski sudah tidak berjualan nasi lagi. 

Saya cukup sering membawa bala-bala ke kampus dan menjualnya di kelas. Sebelum dosen yang mengajar di jam pertama masuk, bala-bala sudah habis diserbu. Alhamdulillah. Tahun demi tahun berlalu, Nenek yang raganya sudah semakin lemah tidak kuasa lagi untuk memasak dan berlama-lama di dapur. Namun karya resep nenek sudah berhasil di ‘copy paste’ oleh anak-anak perempuannya. Semua sudah bisa membuat bala-bala sendiri, termasuk saya. Sombong. Tapi tetap saja tidak ada yang seenak bala-bala nenek, karena nenek selalu menambahkan bumbu rahasia, yaitu bumbu cinta dan harapan. 

Gambar 3. Nenek Tercinta

Nenek selalu cerita kalau ia ingin semua anak dan cucu nenek bisa sekolah hingga jenjang sarjana, meski bermodal warung nasi yang berprimadonakan bala-bala. Alhamdulillah impiannya Allah kabulkan. Kini nenek sudah tiada, meninggalkan tidak hanya kenangan tapi juga 3 sutil legendanya yang diwariskan kepada ketiga anak perempuannya yang semuanya tinggal di Bandung. Seakan-akan nenek ingin memastikan bahwa kehangatan cintanya akan selalu ada di tengah-tengah kami. Maka jika kami, para anak dan cucu Nenek Apandi rindu, kami tahu harus pergi kemana. 

Gambar 4. Proses memasak bala-bala cetak


Resep Bala-bala Warisan Nenek 

Bahan-bahan : 

Sayuran Isian 
2 buah wortel 
5 buah labu sayur kecil 
Daun Bawang 
Garam 1 sdt (Sesuai selera) 
Bubuk kaldu ayam (opsional) 

Adonan tepung 
250 g tepung terigu 
5 sdm tepung beras 
Garam 1 sdt (Sesuai selera) 
Bawang putih bubuk secukupnya

Cara Membuat : 

1. Wortel dan labu dipotong kecil-kecil bentuk dadu
2. Rebus wortel, labu, daun bawang, garam dan bubuk kaldu ayam dalam sedikit air sampai empuk tapi tidak layu
3. Campur bahan tepung dalam mangkok besar dan tambahkan air sampai kekentalan yang diharapkan
4. Panaskan cetakan dalam minyak, jika cetakan sudah panas isi adonan tepung lalu tambahkan isian sayuran lalu tutup lagi dengan adonan tepung lalu masukkan ke dalam minyak
5. Setelah adonan dalam minyak setengah matang, keluarkan dari cetakan dan goreng hingga kecoklatan lalu angkat dan tiriskan
6. Bala-bala siap disajikan. Lebih nikmat jika dimakan dengan saus sambal atau cabe rawit





3 comments:

  1. Sama kaya ibu mertua saya, kalau bikin bala-bala pakai labu/waluh, tapi enggak direbus dulu...

    ReplyDelete
  2. Asyik Teh, saya suka gagal bikin bala-bala,suja kempes wae,,, mau deh cobain resep ini kapan-kapan😃

    ReplyDelete
  3. Yess, semangat terus bun.. kapan-kapan bikin macaron :D

    ReplyDelete