Akhir pekan tiba. Saatnya anak-anak memilih kegiatan ‘family time’ sabtu malam. Terkadang pilihan jatuh pada bermain bola, atau tembak-tembakan, atau bermain karambol, atau menonton film. Pilihan yang terakhir adalah favorit anak-anak tentu saja, meski hanya menonton trailer film di Apple TV.
Suatu hari kami memilih Film lawas untuk ditonton, yaitu Inside Out yang rilis pada tahun 2015. Tanggapan atas film ini berbeda pada sulung dan bungsu. Si bungsu seperti biasa ikut tertawa dan bahkan menangis kala mengikuti alur cerita. Sedangkan si sulung tampak lebih ‘menyatu’ dengan cerita seolah-olah film itu adalah tentang dirinya. Jelas saja, karena karakter Riley di film Inside Out ternyata usianya sama dengannya. “Nah pas banget nih”, gumam saya. Film ini akan jadi topik menarik untuk diskusi kami.
Saya coba-coba tulis review sederhana versi saya tentang Film Inside out sekalian memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni. Mudah-mudahan bisa jadi ajang sharing mamah-mamah beranak remaja.
Sinopsis
(Gambar 1. Inside Out Characters) |
Setiap momen sedih, bahagia, takut dan lain sebagainya digambarkan akan menghasilkan bola kristal yang kemudian disimpan di tempat yang bernama Long Term Memory (ingatan jangka panjang). Selain ingatan jangka panjang ada pula core memory atau ingatan inti yang membentuk jati diri Riley.
Momen-momen penting dalam kehidupan Riley yang menjadi ingatan inti antara lain saat ia bermain hoki, bertingkah konyol, bercanda dengan ayah dan ibu, bermain dengan sahabat, dan momen saat ia memecahkan benda. Ingatan – ingatan inti membentuk pulau tersendiri (Island of Personality) yang terhubung lewat sebuah jalur dengan ruang kendali. Ada Pulau Hoki, Pulau Canda, Pulau Keluarga, Pulau Sahabat dan Pulau Kejujuran.
(Gambar 2. Island of Personality) |
Di ruang kendali, Joy menjadi komandan para karakter emosi, itulah sebabnya Riley menjadi seorang anak yang periang. Namun di luar dugaan Sadness tiba-tiba menyentuh memori inti dan mengubah memori bahagia menjadi sedih. Joy berupaya menyelamatkan memori inti Riley agar tetap didominasi rasa bahagia, sayangnya yang terjadi malah kekacauan. Joy dan Sadness terlempar dari ruang kendali dan harus melalui perjalanan panjang di labirin ingatan Riley agar dapat kembali ke headquarters.
(Gambar 3. Emotion Headquarters) |
Tanpa Joy dan Sadness, emosi yang mengendalikan konsol pikiran hanya tersisa Fear, Anger dan Disgust. Riley berubah menjadi anak yang emosional, tak bisa mengendalikan amarah, bahkan mengambil keputusan kabur dari rumah. Perubahan ini terjadi saat Riley sedang beradaptasi dengan kehidupannya yang baru pasca kepindahan ia dan keluarganya ke San Fransisco.
Seiring berjalannya waktu, pulau – pulau kepribadian Riley digambarkan mulai berjatuhan ke Dump Memory, sebuah jurang dimana kenangan memudar dan akhirnya dibuang dan dilupakan. Joy yang optimis bahwa Riley akan kembali menjadi pribadi yang periang bergegas ke ruang kendali bersama Sadness, meski banyak sekali hambatan yang mereka temui dalam perjalanan. Apakah semua pulau kepribadian Riley akan hancur? Dapatkah Joy dan Sadness menyelamatkan kehidupan Riley?
Review
Inside Out jika diterjemahkan secara bebas artinya ‘dari dalam ke luar’. Terkesan sederhana ya judulnya? Sesederhana jalan ceritanya yang mudah ditebak. Riley adalah perwakilan karakter dari anak menjelang remaja pada umumnya. Ia punya orang tua yang menyayanginya, sahabat yang selalu berbagi cerita, hobi dan bakat yang tersalurkan, dan aneka kebahagiaan lainnya. Masalah datang saat ia pindah rumah. Ia harus beradaptasi. Puncaknya Riley kabur dari rumah menuju kotanya yang dulu, tempat ia merasa bahagia. Namun, saat bus melaju ia berubah pikiran. Riley pun kembali ke rumah, ke pelukan ayah dan ibunya. Tamat.
(Gambar 4. Riley's Happy Family) |
Meski sederhana tapi itu hanya setengah cerita dengan latar 'dunia nyata'. Justru setengah ceritanya lagi dengan latar 'dunia pikiran' yang membuat film Inside Out ini layak diperhitungkan. Lima karakter emosi yang menjadi tokoh kunci dalam film ini ternyata tidak muncul begitu saja. Perlu waktu 5 tahun bagi Pete Docter dan Ronaldo del Carmen, sutradara Inside Out, untuk melakukan riset yang mendalam tentang memori, otak, dan ekspresi emosi. Terinsipirasi dari perubahan emosi putrinya yang berusia 11 tahun, Pete Docter mendapat ide untuk memvisualisasikan kinerja memori dan emosi. Dibantu oleh sejumlah ilmuwan psikologi dalam pengembangan cerita, Inside Out menjadi film yang tidak hanya menghibur tapi juga sarat pengetahuan.
Berbicara tentang kategori usia penonton, Motion Picture Association of America (MPAA) memasukkan film Inside Out dalam kategori PG (Parental Guidance Suggested). Beberapa adegan memang tidak pantas untuk ditiru seperti ketika Riley membentak orang tuanya atau saat ia berusaha kabur dari rumah. Didukung dengan animasi yang ciamik, pesan dari film ini mudah untuk ditangkap. Tak heran jika Inside Out mendapat banyak award sebagai Film Animasi Terbaik dari berbagai ajang penghargaan film dan televisi tingkat dunia.
Saya pribadi berterima kasih atas kerja keras sutradara dan seluruh kru yang telah menghadirkan film Inside Out. Sungguh film ini membantu saya untuk berdiskusi lebih dalam dengan si Teteh yang usianya juga 11 tahun. Terlebih lagi Teteh juga sudah menamatkan beberapa buku seputar pubertas yang isinya mencakup perubahan psikologi emosi pada remaja. Klop kan.
Tak mengapa bersedih
Poin yang paling banyak saya bahas dengan Teteh adalah tentang emosi yang menjadi primadona dalam Film Inside Out yaitu Sadness. Meski di dalam film, Joy tampak berperan penting sebagai komandan dalam penampakkan pribadi Riley, namun Joy akhirnya menyadari bahwa tanpa Sadness, Riley tak akan menjadi manusia yang utuh. Sadness adalah emosi yang harus tetap mendapat perhatian dengan proporsi yang cukup dari para orang tua. Apalagi semakin bertambah usia anak, penyebab kesedihannya malah semakin kompleks. Ya gak Mah?
(Gambar 5. Sadness Quote) |
Sebagaimana para Mamah-mamah di seluruh belahan dunia, saya berusaha mengajari anak-anak sedari dini mengidentifikasi perasaannya. Saya kenalkan apa itu bahagia, sedih, marah, kecewa, takut, dan melatih mereka untuk mengungkapkan dan mengatasinya. Harapannya dengan semakin terlatih mengidentifikasi perasaan, anak-anak akan semakin cerdas mengolah emosinya dan mudah menghadapi ragam situasi. Tapi pada prakteknya tidak mudah ya, Mah. Apalagi kalau anak tantrum, belum sempat menemani anak mengatasi perasaan, mamahnya sudah keburu esmosi. Bubar deh. Istighfar.
Menginjak usia remaja, anak-anak secara normal akan mengalami perubahan emosi. Moodnya kadang tidak dapat diprediksi. Namun kemampuan mereka dalam membaca ekspresi dan decision making juga akan berkembang. Perubahan sosial dalam dunia mereka juga berubah. Pengaruh teman, value, dan media sebagai konsep sosial berhubungan erat dengan naik turunnya emosi mereka. Bahkan beberapa diantaranya menjadi penyebab remaja mengalami sadness.
Suatu hari setelah selesai UTS online saya mendapati Teteh sedang di kamar. Ia berdiri di depan cermin. Wajahnya redup, seakan-akan ada yang salah dengan bayangan yang ia tatap. Lalu teteh berkata, “Teteh kok item ya, Bun?”. Aha problematika remaja. Merasa tidak percaya diri. Di waktu yang lain, sepulang sekolah sebelum pandemi. Wajahnya terlihat lesu. “Teteh dijauhin si ABC karena teteh main sama si D”, ungkapnya. Dan masih ada lagi hal-hal yang membuat ia sedih. Sedih yang lumrah dirasakan remaja yang berkembang fisiknya, sosialnya dan emosinya.
"Sadness is useful because it alerts us to how we should treat ourselves and how we want to treated by other" (Psychology Today).
Ternyata kesedihan pada anak memberi banyak manfaat. Kesedihan membantu mereka untuk menghargai hal-hal terbaik dalam hidup, membuat hati lebih bersyukur. Kesedihan akan meningkatkan motivasi. Anak perlu mengenal rasa sedih saat prestasinya tidak sesuai harapan yang artinya ia akan lebih termotivasi untuk berusaha lebih keras di masa yang akan datang. Kesedihan akan memperdalam hubungan dengan sesama, terutama saat anak dapat terbuka kepada ayah dan ibunya.
Betapa bahagia saya kala Teteh bersedih, ia mencari dada saya untuk membenamkan kepalanya. Saya belai ia dan membiarkannya berdamai dengan suasana hatinya. meski saya juga deg degan sih sebenarnya. Saya tunggu kapan ia siap untuk bercerita tanpa harus terburu-buru. Terkadang saat itu juga ia bercerita atau menunda hingga waktu tidur tiba. Lalu kami bahas solusinya jika ia butuh jalan keluar, atau saya hanya menenangkannya jika ia hanya butuh teman untuk mencurahkan rasa. Bila perlu saya ungkap lagi pujian untuknya, betapa ia adalah anak yang baik, anak yang bersemangat, anak yang tidak kenal menyerah dan lain-lain.
(Gambar 6. Riley's Sadness)
"I... I know you don't want me to, but... I miss home. I miss Minnesota. You need me to be happy, but I want my old friends and my hockey team. I wanna go home. Please don't be mad."
Pesan penting dari Film Inside Out bagi para orang tua ada di scene pamungkas, yaitu ketika Riley mengizinkan sadness untuk hadir memimpin emosinya. Dengan terbata Riley berkata jujur apa yang ia rasakan pada kedua orang tuanya. Dan dengan hati yang penuh dan utuh, Ayah dan Ibunya disana, mendekap laranya. Jadi Mah, mari kita dekap anak-anak dan berbisik di telinga mereka, "It's ok to be sad sometimes, Dear."